Selasa, 11 Juni 2013

MINUMAN SEHAT ALA MAHASISWA JMP


ini MINUMAN SEHAT boleh dicoba dirumah
DINGIN tapi ANGET

ini minuman hasil kreasi dari Jessica Putri, dkk.
RASANYA.......
makkk NYOSSSS :D


Milkshake Wedang Jahe

BAHAN:
·         200 gram jahe merah
·         30 gram kayu secang
·         150 gram gula pasir
·         1 liter air
·         2-3 scoop ice cream vanilla atau susu putih 250 ml
·         Es batu secukupnya

CARA MEMBUAT :
1.      Kupas jahe merah dan potong jadi tiga bagian.
2.      Masak air hingga mendidih kemudian masukan secang , jahe, air, dan gula pasir.
3.      Matikan api kemudian tunggu hingga wedang dingin.
4.      Siapkan blender dan masukan wedang, es batu dan susu/ice cream secukupnya dan blender hingga es batu hancur.

5.      Tuang milkshake yang telah jadi ke gelas dan sajikan.

Minggu, 06 Mei 2012

Penentuan Umur Simpan Pada Produk Pangan


Pengolahan pangan pada industry komersial umumnya bertujuan memperpanjang masa simpan, mengubah atau meningkatkan karakteristik produk (warna, cita rasa dan tekstur), mempermudah penanganan dan distribusi, memberikan lebih banyak pilihan dan ragam produk pangan dipasaran, meningkatkan nilai ekonomis bahan baku, serta memperthankan atau meningkatkan mutu, terutama mutu gizi, daya cerna dan ketersediaan gizi. Criteria atau komponen mutu yang penting pada komoditas pangan adalah keamanan, kesehatan flavor, tekstur, warna, umur simpan, kemudahan, kehalalan dan harga tentunya.
Dalam penentuan umur simpan, yang harus diperhatikan adalah faktor-faktor masa simpan dari suatu produk pangan. Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi di mana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. Pada skala industry besar atau komersial, umur simpan ditentukan berdasarkan hasil analisis di laboraturium yang didukung hasil evaluasi distribusi di lapangan. Berkaitan dengan berkembangnya industry pangan skala usaha kecil menengah (UKM), dipandang perlu untuk mengembangkan penentuan umur simpan produk sebagai bentuk jaminan keamanan pangan. Namun, industri pangan skala usaha kecil menengah seringkali terkendala oleh faktor biaya, waktu, proses, fasilitas dan kurangnya pengetahuan produsen pangan. Yang mereka terapkan hanyalah, pada saat produk baru diproduksi, mutu produk dianggap dalam keadaan 100% dan penurunannya akan terjadi sejalan dengan lamanya penyimpanan atau distribusi. Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu dan nilai uang.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan mutu produk pangan. Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan terdapat enam faktor utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu atau kerusakan pada produk pangan, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi atau bantingan dan bahan kimia toksik atau off flavor. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penurunan mutu lebih lanjut, seperti oksidasi lipida, kerusakan vitamin, kerusakan protein, perubahan bau, reaksi pencoklatan, perubahan unsure organoleptik dan kemungkinan terbentuknya racun.
Pada prakteknya, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menduga masa kadaluwarsa, yaitu :
1.       Distribution Turn Over
Distribution Turn Over merupakan cara menentukan umur simpan produk pangan berdasarkan informasi produk sejenis yang terdapat di pasaran. Pendekatan ini dapat digunakan pada produk pangan yang proses pengolahannya, komposisi bahan yang digunakan dan aspek lain sama dengan produk sejenis di pasaran dan telah ditentukan umur simpannya.
2.       Distribution Abuse Test
Distribution Abuse Test merupakan cara penentuan umur simpan produk berdasarkan hasil analisis produk selama penyimpanan dan distribusi di lapangan, atau mempercepat proses penurunan mutu dengan penyimpanan pada kondisi ekstrim (Abuse Test).
3.       ASS (Accelerated Storage Studies) atau Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT)
Penentuan umur simpan produk dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu (usable quality) produk pangan. Salah satu keuntungan metode ASS yaitu waktu pengujian relatif singkat (3-4 bulan), namun ketepatan dan akurasinya tinggi. Untuk produk pangan yang masih dalam tahap penelitian dan pengembangan, analisis untuk menentukan umur simpan produk dilakukan sebelum produk dipasarkan.
4.       ESS (Extended Storage Studie)
Sering disebut sebagai metode konvensional, merupakan penentuan tanggal kedaluwarsa dengan cara menyimpan satu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kedaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal penemuan dan penggunaan metode ini dianggap memerlukan waktu yang panjang dan analisis parameter mutu yang relative banyak serta mahal. Metode ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai masa kedaluwarsa kurang dari 3 bulan. Metode konvensional biasanya digunakan untuk mengukur umur simpan produk pangan yang telah siap edar atau produk yang masih dalam tahap penelitian.
Sumber : http://pdf.kq5.org/PENENTUAN-UMUR-SIMPAN-PADA-PRODUK-PANGAN.html
Penulis :
Heny Herawati, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Bukit Tegalepek, Kotak Pos 101 Ungaran 5050. Dalam Jurnal Litbang Pertanian 2008.
Referensi
Floros, J.D. and V. Gnanasekharan. 1993. Shelf Life Prediction of Packaged Foods: Chemical, Biological, Physical, and Nutritional Aspects. G. Chlaralambous (Ed.). Elsevier Publ., London.

Hariyadi, P. 2004b. Prinsip Penetapan dan Pendayagunaan Masa Kedaluwarsa dan Upaya-Upaya Memperpanjang Masa Simpan. Pelatihan Pendugaan Waktu Kedaluwarsa (Self Life). Bogor, 1-2 Desember 2004. Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Institute of Food Science and Technology. 1974. Shelf Life of Food Sci. 39: 861-865.

Teknologi Kemasan Aseptik Jamin Sterilisasi Makanan



Kompas, 7/2/02


Saat ini, teknologi kemasan aseptik (The Aseptic Technologies) makin

banyak dipakai oleh kalangan industri makanan dan minuman olahan non
rumahan. Pengemasan makanan dengan teknologi ini dipilih, karena
diyakini paling mampu menjamin sterilisasi dan kualitas makanan dalam
jangka waktu yang lama.

Dikatakan Dr Purwiyatno Hariyadi, Ketua Jurusan Teknologi Pangan dan

Nutrisi Manusia, Fakultas Pertanian IPB Bogor, pada sebuah diskusi
dengan wartawan di PT Ultra Jaya, Bandung, Kamis (28/02) lalu.
Keberhasilan proses pengolahan makanan awetan, pada dasarnya memang
ditentukan oleh banyak faktor, misalnya bahan mentahnya, proses
pengemasannya atau proses penyimpanan.

"Produk yang kering memang biasanya memang lebih awet daripada produk

yang basah. Tetapi kesalahan yang terjadi dalam rangkaian proses
pengolahan bahan makanan itu akan mempengaruhi mutunya," tegas
Purwiyatno. Selain itu, menurut Purwiyatno, proses sanitasi yang kurang
baik, ketidak seimbangan pengendalian suhu dan kelembaban, adanya
tekanan secara fisik pada kemasan, juga akan membuat masa simpan suatu
produk lebih pendek umurnya.

Oleh sebab itu, kalangan industri makanan dan minuman non rumahan

selalu mengutamakan pengolahan dengan suhu tinggi (Ultra High
Temperature), dimana di dalamnya termasuk teknologi aseptik ini, untuk
menjamin produknya tak tercemar mikroorganisme (seperti jamur kapang,
bakteri dan khamir), menginaktivasi enzim, sekaligus meningkatkan daya
cerna.


"Tapi cara (pengolahan suhu tinggi) ini juga bisa menimbulkan perubahan

yang tidak diinginkan, misalnya kerusakan beberapa zat gizi, mutu
sensori (warna dan tekstur) terutama kalau pemanasannya tidak
dikendalikan dengan baik," kata Purwiyatno, seraya menambahkan tentang
banyaknya cara pengolahan dengan suhu tinggi, misalnya pemasakan
(cooking), penghangatan kembali (rewarming), pelelehan (thawing),
blansir, hot filled, pasteurisasi dan sterilisasi.


Tanpa bahan pengawet? Bisa saja




Foto: Google

Dalam kesempatan itu, Purwiyatno optimis bahwa saat ini produk pangan
dan minuman dalam kemasan bisa tahan lama, meskipun tanpa bahan
pengawet. Sebab, pengolahan dengan suhu tinggi yang dilakukan di pabrik
sudah melewati beragam tahapan pasteurisasi dan sterilisasi, mulai dari
pemanasan, pendinginan, pengeringan, fermentasi sampai pengaturan ph.
Proses pasteurisasi untuk produk susu, misalnya, mutlak dilakukan untuk
menghindari produk itu dari kebusukan akibat mikroba.


Hal lain yang juga amat penting untuk menentukan keawetan bahan pangan

dan cair seperti susu ini adalah kemasannya. Oleh sebab itu, dalam
menerapkan teknologi aseptik, Purwiyatno menyatakan, produsen harus
memperhatikan beberapa hal yaitu sterilisasi lingkungan tempat
pengemasan, kualitas bahan kemasan, pengisian produk secara aseptik dan
kemasan dikelim secara hermetis (kedap) dalam zona steril.


Umumnya, sebuah kemasan produk harus terdiri dari enam lapisan, yaitu :

4 polyethylene yang dipasang berselang seling sebagai adesif, paper
(untuk memberikan stabilitas dan kekuatan kemasan) dan alumunium foil
(untuk melindungi produk dari oksigen, aroma dan cahaya).


"Kalau kita yakin bahwa semua proses yang dilakukan, termasuk

pengemasan sudah baik dan mampu membunuh mikroba, berarti buat apalagi
memakai pengawet?" ujar Purwiyatno, optimis.


Walaupun demikian, keberadaan mikroba dalam makanan atau minuman olahan

selalu berarti buruk. "Kalau perubahan kimia memang umumnya membuat
kualitas produk menurun. Tetapi kalau kadaluarsa itu tergantung. Kalau
tekstur atau warna saya kira tidak ada pengaruhnya. Kadaluarsa pada
susu, misalnya, ditentukan oleh jumlah mikrobanya."


Yang penting untuk menjaga kualitas produk dari penambahan jumlah

mikroba, kata Purwiyatno, adalah menjaga integritas sambungan dan
penutupan pada kemasan produk, terutama produk susu yang dalam proses
pasteurisasi dipanaskan pada suhu di bawah 100° C untuk membunuh
bakteri patogen.


"Itu sebabnya mesti ada quality control systems yang baik, mulai dari

sanitasi sampai pengontoran akhir produk sebelum keluar di pasaran,"
demikian Purwayitno. (LBK)

sumber :